Minggu, 29 Agustus 2010

Journal: Fresh..! part.I

Danau Singkarak
Tak ada habisnya bagi kami berdua keindahan alam Sumatera Barat ini. Keindahan yang begitu alami, bukan buatan manusia, subhanallah. Hari ke-7 di rantau orang, membuat kami makin terbiasa, makin mengerti karakteristik orang-orangnya, gejala-gejala alamnya serta jalur-jalur liar pengembara yang jarang dilalui orang. Keuangan terus saja menipis seiring gilanya naluri bertualang yang tak ada habis-habisnya (padahal dari awal memang tipis, hehe). Tempat-tempat indah di tanah ini seolah-olah memanggil-manggila kami: hey, kenapa kalian tidak kesini? tidak punya nyali ya?. Mendengar itu, kami berdua yang mempunyai prinsip "dimana ada nyali, disitu ada jalan..!" langsung menjawab panggilan itu, tak peduli keuangan hampir habis atau tidak, karena hal itulah yang membuat kami menambah pengalaman dengan membantu seorang petani di Batusangkar dengan mencangkul disawahnya, mengembalakan kerbaunya dan mengangkut padi yang sudah diambil ke penjemuran. Hasilnya lumayan untuk memperluas daerah jelajahan, sekaligus pelajaran tentang sulitnya mencari uang walau hanya sepeser.
Modal yang tak seberapa ditambah nyali yang jauh lebih besar dari modal tadi membuat kami pergi meninggalkan Batusangkar, kota yang penuh cerita historis dan sangat eksotis. Tujuan kami adalah Danau Singkarak. Dari informasi yang kami dapatkan, jarak antara Batusangkar ke danau Singkarak sekitar 1 jam, dengan menumpang bus yang murah.

Danau ini sangat indah, airnya tenang, dingin dan berwarna biru. Airnya jernih, sehingga walaupun kita sudah memandang agak jauh, kita masih dapat melihat ikan-ikan berenang. Tak sabar kami ingin melompat kedalamnya. Masyrakat sekitar menjual ikan khas tangkapan yang hanya ada di danau Singkarak dan danau Maninjau, ikannya kecil-kecil, rasanya gurih, seperti ikan air laut tapi ukurannya lebih kecil.
Karena danau ini cukup besar, jadi ada beberapa aliran keluar yang menjadi sungai. Sungai-sungai itu juga sangat jernih, tipikal sungai-sungai di daerah Sumatera Barat yang kami perhatikan adalah berbatu-batu besar dan berarus deras. Melihat sungai-sungai yang indah itu, saya sempat teringat dengan sungai yang ada kampung halaman ayah saya, Tantaman, sekitar 2 jam dari Bukittinggi, sungainya sangat indah, dulu saya kesana sewaktu berumur sekitar 12 tahun. Pagi itu, ayah mengajak saya keluar dari rumah tempat keluarga kami menginap. Saya dibawa berkeliling desa dengan berjalan kaki, melihat sawah-sawah yang masih berembun, melewati pinggirannya hingga sampai di pengairan yang berasal dari sebuah sungai jernih berbatu. Kami duduk di sebuah batu besar dipinggir sungai, dia mulai bercerita: Adek, gak boleh jahat sama mama ya, mama itu capek lho, lihat, dia nyiapin makan kita, ngurusin rumah dan banyak lagi yang dikerjakannya, harus nurut sama apa yang dibilangnya, gak boleh melawan dan jangan buat dia sedih. Saya hanya diam. Melihat ekspresi saya, ayah hanya tersenyum kecil dan meletakkan tangannya dibahu saya dan menepuk-nepuknya, itu memang kebiasaannya, hanya begitu tapi bagi saya penuh arti. Dia melanjutkan ceritanya: waktu kecil, papa sama kawan-kawan mainnya disini, dulu gak ada uang jajan, pulang sekolah bawa kerbau makan dan memandikannya disini, sambil menunggu kerbaunya berendam kami bermain suling. Dalam hati saya hanya berfikir, pantas saja orang yang menjadi ayahku ini memiliki cita rasa seni yang mengagumkan. Di tempat yang indah seperti ini, walau hanya duduk mengamati aliran sungai yang jernih dengan bebatuan besar dan udara yang sejuk, pastilah akan terlahir inspirasi bermusik. Sayangnya bakat seni miliknya itu tak turun kepada saya, yang dari kecil hidup di kepadatan kota yang membosankan.
Begitulah cerita tentang danau Singkarak dan sungainya. Puas merasakan sejuknya air yang tenang, kami menginginkan sesuatu yang lebih ribut, brguncang dan menguji nyali. Tujuan selanjutnya adalah Lembah Anai. Lembah Anai adalah air terjun yang terletak sekitar 1 jam dari Bukittinggi dan 1,5 jam dari Batusangkar. Saat itu perjalan kami mulai dari Bukittinggi, informasi yang kami dapatkan: pengangkutan mulai jarang ke daerah itu disebabkan pegunungan yang longsor, jadi beberapa perusahaan pengangkutan mengubah jalurnya. Beberapa hari terakhir memang sering hujan, jadi semakin sulit saja mencari angkutan yang melewati lembah Anai, padahal jalur tersebut adalah jalan lintas yang menghubungkan Bukittinggi dangan Padang. Kami terus saja mencari inforamasi di terminal bus Bukittinggi hinga mendapatkan satu angkutan yang kesana. Jalan menuju lembah Anai sangat berkelok, naik turun dan dipenuhi jurang. Nyali kami betul-betul diuji.
Lembah Anai
Udara disini sangat dingin, kami putuskan untuk tidak mandi dan hanya mencuci muka saja. Saat asik bermain air, tiba-tiba seorang warga asing (turis) menyapa kami: hai, asli minangkabau? (dengan bahasa Indonesia yang sangat buruk dan kami yakin dia tidak tahu apa yang dikatakannya). Rudi yang aneh dan berfikiran jahil menjawab: ngomong opo koe?, saya melirik Rudi, dalam hati: sial, kenapa anak kribo ini malah menjawab dengan bahasa Jawa?. Si bule tampak makin heran, lalu cepat-cepat Rudi berkata: anda dari mana? si bule: sorry? Rudi: where do you come from? si bule: oh, America, sorry i can't speak Indonesian, just a little bit. Yah, saat itu pun terjadilah perkenalan, namanya Dean, dari Amerika, seorang Backpacker juga, tapi ya jauh lebih ekstrim dari kami. Saya meninggalkan Rudi dan Dean bercakap-cakap, saya mencari makanan ringan lagian saya memang tidak mahir berbahasa Inggris, beda dengan Rudi, di Bukittinggi saja dia juga berteman dengan seorang Swedia. Asik sekali melihat mereka berbicara tapi karena sudah agak sore saya mengajak Rudi pulang. Cerita apa saja tadi Ban (panggilan Rudi). Banyak, malah kita udah tukeran myspace, hehe. Dia mau ke merapi, tracking, trus aku bilang di Sumatera Utara juga ada yang bagus, Sibayak, eh malah katanya dia udah pernah.

Perjalanan mendatangi air yang tenang dan yang menggelegar sudah terlasksanakan. Cukup puas, tapi perjalanan belum berakhir. Selanjutnya, menutup perjalanan yang panjang, kami mendatangi kota Padang, dulu saya pernah berjanji akan kembali ke kota ini. Next post..! Salam Jepret..!

Minggu, 15 Agustus 2010

Journal: King Of The Hill (Part. I)

Istana Pagaruyung

Suatu hari, sekelompok orang yang berlayar datang dari jauh ke Batusangkar. Mereka melihat-lihat sekitar pedesaan dan kehidupan orang-orangnya. Kehidupan rakyat disini memang masih tertinggal jauh dengan kehidupan rakyat di tempat kita, ujar seseorang diantaranya. Mereka masih bodoh, tidak seperti kita, kita bahkan sudah mengelilingi nusantara ini, kata seseorang lagi. Hingga perkataan-perkataan itu sampailah ketelinga para petinggi tanah Minang dan mereka menyampaikan keberatannya atas ucapan saudagar-saudagar itu. Lalu para saudagar itupun tak terima dengan pernyataan keberatan tersebut, dia tetap ingin membuktikan bahwa orang-orangnya lebih unggul, maka para saudagar itu menantang para penduduk untuk menunjukkan kehebatannya. Kesepakatan pun terjadi, hasilnya mereka akan mengadu dua ekor kerbau, kerbau pilihan mana diantara keduanya yang lebih kuat. Para saudagar mempunyai seekor kerbau jantan perkasa yang bertubuh besar dan kuat, tanduknya juga panjang, siapapun yang melihat akan terkagum. Sementara itu, rakyat desa berkumpul dan memikirkan kerbau yang bagaimana yang akan diadu dengan kerbau mereka, karena mungkin mereka tak memiliki kerbau setangguh itu. Hari penentuan pun terjadi, kedua kelompok tersebut berkumpul, para saudagar mengeluarkan kerbau andalannya, sedangkan penduduk mengeluarkan seekor anak kerbau yang baru beberapa hari dilahirkan. Tentu saja hal itu menjadi bahan ejekan bagi para sudagar, dan mereka merasa pasti menang. saat kedua kerbau ingin dilepas penduduk memasangi pisau pada kepala anak kerbau tersebut, lalu kedua kerbau pun saling mendekat, tiba-tiba anak kerbau yang baru berumur beberapa hari tersebut mengejar-ngejar kearah bagian bawah perut kerbau besar tadi, anak kerbau itu mengira kerbau itu adalah induknya sehinnga dia ingin menyusu, maka terjadilah hal yang tak pernah disangka para saudagar, anak kerbau itu menyuruk dan mengayun-ayunkan kepalanya kearah perut kerbau sehingga terkoyak-koyaklah perut kerbau tersebut karena pisau yang dipasangkan pada kepalanya, maka kerbau besar itupun mati. Melihat itu, rakyat bersorak, akhirnya kecerdikan meraka dapat membungkam perkataan para saudagar tadi. Rakyat gembira dan berteriak Menang Kerbau..! Menang Kerbau..! yang sampai saat ini diyakini sebagai dasar kata Minangkabau.

Menghabiskan beberapa hari di Bukittingi sungguh menyenangkan, bangunan-bangunan kota bergaya dulu, taman-taman indah yang dpenuhi burung merpati, masakan minang yang enak, serta orang-orang yang ramah yang tak kami jumpai sebelumnya dikota-kota sebelumnya juga. Karena telah merasakan pengalaman itu, jarum kompas kamipun kembali bekerja, kali ini jarum menunjuk kearah tenggara, tempat dimana gunung Merapi berdiri tangguh, ya, kami menuju kesana, tepatnya kota dibalik kaki gunung itu, Batusangkar. Kota ini dulunya adalah pusat pemerintahan kerajaan, terletak di kabupaten Tanah Datar, sekitar 2-3 jam perjalan dengan bus dari Bukittinggi. Suhunya tidak sedingin di Bukittinggi, disini lebih hangat, hamparan sawah yang indah mengelilingi kota ini. Satu hari kami habiskan di kota ini, beikut adalah beberapa tempat yang kami jelajahi.

Masjid ini adalah masjid tertua di Batusangkar, umurnya sudah mencapai 300 tahun. Masjid ini bernama Masjid Raya Lima Kaum, didirikan oleh para pendatang dari jazirah Arab yang berdagang sambil menyiarkan Islam. Struktur bangunannya sangat kokoh, dibagian dalam terdapat tiang-tiang penyangga yang terbuat dari kayu pilihan yang sampai sekarang tak pernah dimakan oleh rayap, memnurut sumber yang kami dapatkan, bahan-bahan bangunan untuk membangun mesjid ini adalah bahan pilihan, contohnya saja tiang-tiang masjid, yang sebelum dipakai terlebih dahulu direndam selama sepuluh tahun. Setiap tiang adalah satu pohon yang sekarang ini pasti sangat sulit mencarinya, berdiameter besar, lurus dan panjang sampai sepuluh meter. Lantainya juga terbuat dari kayu yang juga masih kokoh.

Penanda kota Batusangkar atau juga penanda Sumatera Barat adalah Istana Pagaruyung (Istano Basa Pagaruyung). Dahulu, istana ini adalah pusat pemerintahan kerajaan atau kesultanan. Kalau di Deli kita akan mengacu ke Istana Maimun, yah, sama seperti itu lah. Istananya sangat megah, struktur asli tetap dpertahankan seperti atap yang terbuat dari serat pelepah Aren (Ijuk). Interior nya juga mengaggumkan, perlatan sehari-hari kerajaan yang eksotis dan perabotannya yang mempunya ciri khas percampuran beberapa budaya. Saat mengambil gambar-gambar di istana cuaca cukup terik, maklum, kami kesana pada pukul sekitar 12 siang, hehe. Kami bertemu dengan seorang Ayah dan anak perempuan kecilnya, bercerita panjang lebar, tentang darimana kami, dan apa saja yang ada di Batusangkar, yang membuat kami nyaman, bapak tersebut meladeni kami dengan bahasa Indonesia, maklum selama di provinsi ini, kami sangat mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Mereka berdua sangat ramah, bapak itu juga menceritakan pengalamannya dulu ke Medan. Yang lebih asik lagi, Nabila kecil, anaknya, sangat tergila-gila dengan fotografi juga, ayahnya bercerita: wah, kalau Nabila suka sekali itu, HP saya aja memorinya penuh karena dia suka foto. Sungguh jaranag saya melihat yang seperti Nabila, umurnya baru sepuluh tahun, entah apa yang membuatnya suka mengambil gambar. Karena penasarannya itu, sayapun meminjamkan kamera kepadanya, lucu juga melihatnya, kamera terlalu besar buatnya, dan dia terlihat agak keberatan memegangnya. Nabila berkeliling-keliling sekitar istana mencari sudut terbaik, hehe. Saya, Rudi dan ayahnya hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkahnya. Dia juga mengambil beberapa gambar saya dan Rudi, hehe.










Selanjutnya perjalan berlanjut dengan lebih seru, karena anggota bertambah, Nabila dan ayahnya. Awalnya kami segan saat ayahnya menawari: mau keliling-keliling Batusangkar ya? kan baru pertama kali kesini, ayo saya bawa ke tempat-tempat bagus (dengan bahasa Indonesianya yang terlihat agak bersusah payah, hehe). Kami menolak, wah, pak terima kasih banyak, biar kita jalan sendiri aja. Bapak itu meyakinkan kami, yah, dari awal kami juga mau sekali, tapi ya namanya juga jual mahal, saat itu kami terkagum dengan keramahan masyarakat disini. Saat diperjalanan, dia bercerita, saya juga sekalian bawa Nabila jalan kok, soalnya dari Senin sampai Sabtu saya bekerja di Padang, jadi Minggu saya habiskan buat Nabila dan Ibunya. Sampai di kompleks prsasti Adityawarman. Sedikit aneh saat pertama kesini, karena yang saya tau nama-nama seperti Adityawarman, Sri Wulaningsih, Aryanegara dan lain-lain berasal dari tanah Jawa yang jauh. Kebingungan saya tersebut akhirnya jelas juga setelah membaca terjemahan dari salah satu prasati. Prasasti-prasasti tersebut dituis dengan huruf Kawi dengan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno, salah satunya berisi tentang cerita Raja Adityawarman yang berlayar dari Majapahit dan menikahi putri Melayu lalu membangun kerajaan di tanah ini. Wah, jadi istana Pagaruyung tadi tempat mereka berkuasa. Setelah itu perjlanan kami lanjutkan ke Makam Raja-Raja. Ada juga tempat rapat para wakil rakyat jaman dahulu, hanya beberapa batu yang disusun melingkar, wah, kalau para wakil rakyat sekarang rapatnya Full AC, kursi nyaman, udah gitu masih suka tidur dan absen lagi, wah.. wah.. wah.
Sawah-sawah di Batusangakar sangat indah menurut saya, dan saya memang menyukai pemandangan hamparan sawah. Rasanya damai apabila berdiri ditengah-tengah merasakan angin perlahan. Melihat aktivitas petani-petani, anak-anak brlarian, rasanya ingin berlama-lama disini. Kota ini eksotis, kata Rudi, kalau saya: kota ini damai. Nabila: nanti kapan-kapan main kesini lagi ya Om..! katanya kepada kami berdua, wah pasti Nabila, rajin-rajin sekolah yaaa..!
Kata orang, tidak lengkap apabila ke Sumatera Barat tidak Mandi di Danau Singkarak dan mencuci muka di Lembah Anai. Wah, kami jadi makin penasaran nih, next post kami akan menceritakan pengalaman kami disana, Salam Jepret..!

Jumat, 06 Agustus 2010

Journal: Naik-Naik ke Puncak Gunung

Jam Gadang
Pekanbaru dan tempat-tempat sekitarnya yang ada dalam list kami sudah terceklis semua. Sungguh menyenangkan, hidup sebagai petualang, yang dulunya saya kira sangat tidak nyaman. Memang, keadaan tepat seperti yang saya bayangkan, awalnya kami akan tersesat, kesulitan mendapatkan penginapan atau tempat tinggal, keuangan menipis, dan merasa lelah. Kami sudah mengalami semua itu, tapi selalu saja ada pertolongan dariNya yang membuat kami makin tertantang menghadapi masalah itu satu persatu. Masalah-masalah tersebut membuat kami penasaran: apa yang terjadi kalau kami lanjutkan perjalanan ke kota lain, pastilah ada lebih banyak masalah disana. Oke, kalau begitu mari kita buat lebih banyak masalah. >:)

Satu kota telah ditandai dalam list perjalanan kami dengan tulisan: Mission Complete..!, list dibawahnya adalah Bukittinggi, kotamadya yang diapit oleh dua gunung yang masih aktif, Gunung Merapi dan Gunung Singgalang, keduanya sering mengeluarkan asap tebal yang kadang membuat kami merasa ngeri, bagaimana tidak, bayangkan kalau kedua gunung tersebut tiba-tiba meletus dan kami sedang duduk santai di taman kota. Bisa-bisa ini adalah backpackeran terakhir dalam hidup kami, hehe. Untung saja imajinasi lebay tersebut langsung hilang begitu melihat panorama kota tua yang dulunya dijadikan pusat pemerintahan dan perdagangan kaum elit Belanda tersebut. Kota ini adalah kota yang paling berkesan dalam perjalanan kami.

Oke, perjalanan kami mulai dari terminal bus Pekanbaru. Pertama kali yang harus dilakukan jika sudah sampai diterminal versi kami adalah:

1. Perhatikan keadaan sekitar.
2. Pastikan barang berharga seperti dompet dan handphone tersimpan aman, yang anda sendiripun sulit mengambilnya, hehe.
3. Berbaurlah dengan orang-orang sekitar, dan gunakan dialek mereka dalam berbicara.
4. Kumpulkan semua informasi tentang transportasi ke kota tujuan, seperti ongkos yang paling murah, berapa lama waktu yang ditempuh, dan dimana nanti kita akan turun jika sudah sampai.


Informasi berhasil kami dapatkan. Kami naik kedalam bus yang pada hari itu penumpangnya cukup sepi. Pemandangan sepanjang jalan Pekanbaru-Bukittinggi sangat indah, kita akan melihat sungai yang berada tepat disamping jalan lintas. Daerah pegunungan dan lembah-lembah yang dibawahnya terdapat telaga-telaga kecil. Jadi tidak akan bosan dan pasti tidak akan tertidur karena sepanjang jalan pemandangannya menawan. Sayangnya, saat itu selama dalam perjalanan saya membersihkan lens dan body dengan Cleaner Kit yang saya bawa, jadi hanya ada beberapa foto dalam perjalanan dalam bus yang diambil, itupun sudah masuk daerah perbatasan Sumatera Barat. Akhirnya kami melihat langsung juga kelok 9 yang terkenal itu, wah, cukup mngerikan, kiri dan kanan jurang, kemampuan pak sopir sangat diandalkan. Lalu, masuklah kita kedaerah kabupaten Payakumbuh, saat itu tiba-tiba saja Rudi meminta kamera dan memotret sesuatu. Rudi memotret pengantin yang sedang diarak yang kebetulan lewat disamping kami. Satu jam kemudian sampailah di Bukittinggi. Perjalanan ke Bukittingi memakan waktu 6 jam.

Bukittinggi, arsitektur gaya barat sangat dominan dalam tata kota ini. Mulai dari kantor pemerintahan yang masih memakai gedung peninggalan Belanda, rumah-rumah, avenue, taman, dan sebagainya. Wah, rasanya ingin berlama-lama apabila sampai dipusat kota dan ingin berjalan kaki mengelilinginya. Lalu lintas tertib dan masyrakatnya yang ramah dengan dialek Minangnya yang kental. Satu masalah saya terhadap kota ini adalah suhunya, disini dingin sekali, mungkin karena berada di dataran tinggi. Pernah satu pagi saat saya dan Rudi mencuci baju, sewaktu dijemurkan, pakaian kami mengeluarkan asap, dengan heran kami melihatnya, wah.. wah.. begini rupanya kalau suhu dingin ya. Karena dingin, sore itu kami memtuskan untuk ngopi di dekat taman disamping Jam Gadang. Jam Gadang dulunya juga mempunyai tiga bentuk yang berbeda, bentuk dijaman kolonialisme Belanda, penjajahan Jepang, dan jaman Kemerdekaan. Berjalan-jalan dikota sangat mengasikkan, melihat kebiasaan-kebiasaan orang dan mencoba makanannya. Makanan khas Bukittinggi yang kami coba adalah Nasi Kapau di Pasar Atas. Pasar Atas (Pasa Ateh, dialek minang) menjual berbagai macam souvenir dan kuliner khas Bukittinggi dengan harga yang terjangkau.

Hari kedua di Bukittinggi, kami berkeliling lagi. Sampailah kami di Panorama dan Lobang Jepang. Panorama adalah lembah yang terbentuk oleh proses alam, letaknya tidak jauh dari pusat kota. Lobang Jepang dulunya adalah markas yang digunakan Tentara Jepang sewaktu menjajah Indonesia. Kami mengumpulkan nyali dan mencoba masuk kedalamnya, saat hendak masuk, ada beberapa orang di mulut goa yang bekerja sebagai Guide menawarkan jasa. Yah, karena dari awal kami berprinsip: dimana ada nyali, disitu ada jalan, dengan sok jago kami menolak tawaran Guide tersebut. Mereka sempat mengingatkan hati-hati kalau sudah masuk, tandai hal-hal tempat kalian berbelok, jangan mudah panik didalam, abaikan suara-suara jika terdengar mencurigakan. Beberapa waktu yang lalu, memang ada orang yang masuk ke lobang ini, dan anehnya sampai sekarang dia belum pernah keluar dari sana. Dahaulu, seluruh kota Bukittinggi dibawahnya adalah lorong, tapi kebijakan pemerintah setempat sudah banyak yang ditutup untuk alasan keamanan. Jadi, lorong-lorong bawah tanah itu seperti labirin yang menghubungkan setiap tempat. Suhu dibawah lembab, gelap, dan agak mengerikan, karena terdapat ruang penjara Romusha, persenjataan, dan sebagainya.
Ngarai Sianok
Ngarai Sianok dari ujung Lobang Jepang
Hari ketiga, karena kami adalah penggemar peninggalan-peninggalan bersejarah, maka kami mendatangi Benteng Fort de Kock. Letaknya di bukit tengah kota, sangat strategis untuk sebuah benteng, dimana disekeliling bukit dipasangi oleh meriam-meriam yang besar. Saat itu kami sempat berhipotesis: terlihat sekali perbedaan strategi militer poros barat dan poros timur, lihat saja tempat pertahanan keduanya, Jepang memanfaatkan lorong-lorong bawah tanah yang sulit ditembus, sedangkan Belanda memanfaatkan dataran tinggi yang dipasangi meriam disekililingnya yang juga sulit ditembus. Letak benteng Fort de Kock dihubungkan dengan jembatan layang (jembatan Limpapeh) ke kebun binatang Bukittinggi. Keduanya sama-sama menakjubkan. Objek-objek wisata dikota ini sangat diperhatikan oleh pemerintah setempat. Tidak heran, kotanya begitu asri, tempat sampah dietiap sudut dan masih banyak burung merpati dijalanan.

wah, Bukittinggi begitu mengasikkan, seperti yang saya katakan sebelumya, kota ini adalah kota yang paling berkesan selama perjalaan kami. Selanjutnya, kami penasaran dengan sejarah suku Minangkabau yang konon berasal dari kerajaan Majapahit. Itulah yang akhirnya membuat kami sampai di Batusangkar. Next Post..! hehe, salam jepret..!

Selasa, 03 Agustus 2010

Journal: Day 1, 2..


Kenshin Himura, kesatria pedang yang bekerja dibalik layar demi berdirinya zaman restorasi Meiji. Seorang samurai yang kejam, dan sudah banyak orang yang dibunuh olehnya. Orang-orang menjulukinya Kenshin Sang Pembantai. Pada suatu waktu dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi membunuh serta membalik mata pedangnya agar tak lagi dapat melukai orang, pedangnya mempunyai nama Zanbato, hingga akhirnya dia menjalani hidup sebagai orang biasa.

Bicara soal Kenshin, saya jadi teringat seorang teman, yah, menurut saya dia sangat mirip dengan Kenshin, namanya Die (tapi kalau Die adalah Kenshin, maka saya adalah Sanosuke Sagara atau dikenal dengan Zanza Si Pembuat Onar, mereka kan sahabat sejati, hehe). Bagi saya, Die sangat mengagumkan. Dan masa lalunya juga yang membuatnya sekarang rendah hati (lebih tepatnya masa lalu kami :p). Tapi kalau saya sih masih jauhlah seperti Die, makanya saya sering minta nasehat-nasehat darinya. Kami tinggal berbeda kota, saya di Medan sedangkan dia Pekanbaru, komunikasi hanya melalui HP. Nah, karena saya dan Rudi sedang menjalani program yang kami sebut Systematic Chaos Backpacking (backpackeran ala orang aneh), kami akan menyambangi kandang Die. Bagi yang ingin melihat fotonya, klik aja langsung, hehe.

Rencana ini sudah kami susun lama, hinga pada 19-07-2010 kami tetapkan sebagai hari keberangkatan. Destinasi pertama: Pekanbaru, disini kami akan hidup dengan mengandalkan nyali (lebay amat), karena memang dari awal kami tidak memtuskan untuk mengeluarkan lebih banyak uang. Kami mencari tempat penginapan termurah dan apabila tak mendapatkannya, emperan toko dan kolong jembatan bukan pilihan yang buruk. Satu kata yang tepat untuk kota ini: Bersih. Pekanbaru  adalah ibukota provinsi Riau dan memakan waktu 8 jam apabila ditempuh dengan Bus dari kota Rantauprapat. Bangunan-bangunan tertata dengan rapi, trotoar berjarak lebar dari tepi jalan, berbeda sekali dengan kota Medan: Sumpek Over. Masyarakat asli adalah suku Melayu, yang bermukim dari mulai pesisir barat hingga tepian sungai Siak. Saat itu kami sampai di Pekanbaru pagi sekali, karena Bus yang kami tumpangi dari Rantauprapat berangkat malam hari. Tiba-tiba HP saya berdering, wah, ibu saya menelpon:









saya    : halo (dengan wajah kusut seharian dalam perjalanan).
ibu    : iya, udah dimana?
saya    : nih baru nyampe mak, masih nanya-nanya orang, kekota itu naik apa.
ibu    : loh? kok naik apa, minta jeput ama sepupumu abis itu istirahat dirumah tulang (paman).
saya    : yah, kan kemaren udah dibilang gak mau nginap tempat mereka?
ibu    : jadi mau dimana, dipinggir jalan? kan baru pertama kali kesana.
saya    : kalau nginap tempat saudara gak asik dong mak, ini rencananya mau nyari Losmen yang murah atau Masjid/Mushala, ya.. ya.. ya..?
ibu    : ada-ada aja ni anak, ya udah, tapi pokoknya nanti harus singgah sebentar dirumah tulang ya, bilang mama titp salam.
saya    : oke deeeh..!

Mosque & Church
Setelah tanya sana-sini sama orang-orang diterminal, akhirnya kami mendapatkan informasi angkutan umum ke kota. Jaraknya cukup jauh, tapi lalulintas lancar dan jarang macet. Berkeliling cukup lama dikota dengan bawaan Tas yang beratnya mungkin mencapi 20kg. Tadi memang kami menemukan losmen kecil, tapi harganya kurang sesuai, hingga berjalan beberapa kilo lagi dan dapatlah sebuah losmen bergaya klasik (jadul), harganya juga jadul euy. Kami letakkan tas, antri kamar mandi (hehe), lalu bersiap berkeliling. Tanpa istirahat, kami langsung mendatangi museum, perpustakaan, masjid Raya, danau buatan dan beberapa tempat lainnya. Rudi si Yakuza berkata: apabila berkunjung ke suatu tempat, lihatlah apa yang manusia-manusia itu makan. Maka kami mencari informasi makanan khas melayu atau makanan khas daerah ini. Mencoba Gulai Asam Pedas Ikan Patin dan makan sate di Senapelan.


Siangnya, kami mencari tempat kos teman saya yang tadi diceritakan diatas. Die tinggal di daerah Tangkerang, cukup jauh dari kampusnya. Ditempat kos Die kami sempat beristirahat, menunggu dia bekerja, salah satu yang saya kagumi darinya adalah kegigihannya. Tahun lalu dia memtuskan untuk tidak mau lagi dikirimi uang bulanan dan mengembalikan mobil yang diberikan ayahnya, mencari tempat kos murahan dan meninggalkan rumah kontrakannya. Die bekerja sebagai staff koperasi, katanya sih gajinya lumayan, sampai-sampai dia mentraktir kami berdua ongkos Busway dari jalan Sudirman ke Alam Mayang (huh, cuma traktir tiga ribu perak aja diceritain). Dia juga membawa kami shalat Ashar di masjid Raya, masjidnya cukup besar, sangat banyak aktifitas yang dilakukan disini. Lalu kami bertualang ke sungai Siak, karena saya menyukai sungai, setiap kota yang kami datangi saya selalu mengabadikan sungai-sungainya.
Bersandar Di Siak

Pada foto narsis saya dan Rudi diatas, Die menggunakan Lens Filter UV, agak sulit mengkombinasikan dengan cuaca yang saat itu cukup mendung, dimana ISO tinggi akan berakibat noise yang berlebihan, maka cukup menggunakan bukaan lens sekitar 2,8 gambar akan tetap bercahaya. Untung saja lens kit saya dapat masuk dengan lens filter UV nya Die. Sayangnya, sewaktu saya coba foto panorama dengan lens Wide + lens filternya Die, hasilnya, naudzubillah, ancuuur. Atas permintaan yang bersangkutan, gambar Die tidak dimuat, hehe.

Penasaran dengan koleksi perpustakaan Pekanbaru, akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan. Gambar di samping adalah perpustakaan Pekanbaru, koleksinya sangat menakjubkan, apalagi Rudi adalah penggemar buku-buku sejarah. Buku-buku manca negara juga banyak. Didalam sangat nyaman, sejuk, serta akses internet yang lumayan cepat. Dari view luar, perpustakaan ini seperti buku yang terbuka, wah, arsitektur bangunannya mengagumkan.

Keesokan harinya, kami lebarkan sayap petualangan ke Kabupaten Kampar, desa Lipat Kain. Disana Rudi mempunyai famili, jadi kami tinggal untuk menginap satu hari. Tak banyak yang bisa dilihat di desa ini, hanya panorama perbukitan dan beberapa  sungai/kanal kecil. Bagi saya, yang paling mengasyikkan di desa ini adalah saat makan malam, saat itu kami makan bersama, dan semua sangat berselara, maklum waktu itu cuaca agak dingin. Mereka menyajikan ikan hasil tangkapan dari sungai, masih segar, entah apa nama ikannya, yang jelas saya kesulitan mendapatkannya di Medan.

Yah, dua hari pertama yang melelahkan dalam program Systematic Chaos Backpacking, hehe. Tapi bagi kami kota ini cukup unik, ingin rasanya kembali lagi kesana. But, show must go on..! hehe. Oke, kalau begitu pada postingan selanjutnya kami akan bercerita tentang pengalaman kami di Bukittinggi serta beberapa tempat diskitarnya. Salam Jepret..!