Waktu menunjukkan pukul 19.15, kali ini aku memenuhi undangannya lagi, aku datang lebih awal, sangat tepat waktu bahkan sebelum dia mempersiapkan kopi Sidikalang panasnya di depan teras yang langsung menghadap ke perbukitan itu. Kutunggu dia beberapa menit, hingga akhirnya tampak sesosok lelaki tua dengan pakaian kaos putih polos dan menggunakan sarung, sangat terlihat malas, seperti biasa, seolah dia yang beberapa kali kutemui belakangan ini bukanlah seorang yang dulunya sangat hebat. Saat datang ke rumah yang terbuat dari kayu dengan model rumah panggung zaman penjajahan itu, aku sudah menunggunya beberapa menit, duduk di lantai kayu, melihat ke perbukitan yang sunyi. Dia menghampiri kursi kebesarannya itu, tak menghiraukan keberadaanku dan mulai mengeluarkan sebatang Dji Sam Soe dari kaleng bulat kecil dan memantiknya, terlihat betapa dia menikmati hisapan pertama di tengah malam yang dingin itu.
Aku terdiam lagi, tapi kali ini aku berjanji untuk memulai pembicaraan: datang menghampirinya dan mengambil sebuah kursi yang berdekatan dengannya. Kuberikan senyum seadanya, begitu juga dengan senyum seadanya miliknya. Aku kalah lagi, dia memulai pembicaraan dengan bertanya: mengapa kau pulang?. Kujawab dengan hormat, kali ini aku pulang untuk berziarah ke makam ayahku. Apakah kau sudah melakukannya? tanyanya lagi. Sudah, kemarin aku sudah berziarah, dan akan kuulangi besok sebelum kembali ke kota tempatku menuntut ilmu. Suasana menjadi hening lagi, apakah ini akan lama? tanyaku dalam hati. Seperempat jam kemudian kuberanikan diri untuk memulai pembicaraan lagi, kukatakan bahwa kali ini semuanya berjalan lancar. Sekali lagi, kulihat senyum seadanya yang kurasa di dunia ini hanya lelaki tua dengan setelan malas ini pemiliknya. Kali ini aku berhasil menahan semua air mataku, dengan pasti, walau awalnya sulit, aku takkan mengeluarkannya walau sedikit.
Aku pamit pulang, karena sudah kusampaikan semua padanya dan telah habis secangkir kopi panas itu. Saat melangkah di anak tangga pertama dia berkata pelan: aku tak pernah begitu mempercayaimu, lakukan dengan baik dan satu hal lagi, aku juga mengenal dia (ayahmu). Aku tak menoleh lagi, kebahagiaan ini sangat aneh bahkan membuat aku ingin menangis, tetapi dengan kekuatan baru ini, aku dapat melangkah dengan senyuman. Terima kasih pak tua.
"Mengapa pada dirimu saja hal ini bisa jadi sangat keren..?"