Masjid Agung di pinggiran sungai Batang Gadis, Panyabungan |
Assalamualaikum sahabat..! Alhamdulillah, syukur yang terdalam untuk Allah yang telah memberi kita nikmat waktu dan kesehatan. Kali ini saya kembali ingin menuliskan catatan perjalanan yang termasuk dalam seri Systematic Chaos Backpacking yang alhamdulillah, kali ini sudah musim ketiga. Ada sedikit perbedaan dari perjalanan sebelumnya, sangat berpengaruh tentunya, perbedaannya adalah partnernya. Ya, kali ini saya tidak bersama dengan Mr. Kribo alias Baban alias Rudi.
Perjalanan kali ini bersama Sugi |
Sugiharto Tri Prasetyo nama lengkapnya, lebih dangdut dari Baban, naif, dan tidak penakut. Perbedaan kedua yang cukup mendasar juga yaitu tentang cara bepergian, kami menggunakan sepeda motor sepanjang sekitar 710 km total perjalanan.
Destinasi kali ini adalah Panyabungan, ibu kota kabupaten Mandailing Natal. Normalnya dengan mobil waktu tempuh sekitar 5 jam, dan kami hanya membutuhkan kurang dari 4 jam untuk sampai, hehe. Saya pilih kota ini karena permintaan teman saya dulu yang sama bekerja di CIMB, namanya bang Nilwan, hanya saja dulu kami di unit yang berbeda. Jadi ceritanya bang Nilwan juga sudah keluar dari bank tempat kami bekerja dulu dan membuka perusahaan kontraktor sendiri yang menangani pekerjaan umum. Hhh, enakya, dia keluar dari bank sekarang berhasil, eh saya gini-gina aja, weleh-weleh, ups.
Bang Nilwan di kantornya |
Beruntung banget, selama di Panyabungan, semua keperluan dan kegilaan travel kita diakomodasi sama eksekutif muda teman saya bang Nilwan. Thanks banget bang, semoga kebaikannya dibalas oleh Allah.
Kami dibawa berkeliling, makan-makan, dan lain sebagainya. Ada cukup banyak pilihan wisata alam di Panyabungan ini mulai dari pemandian air panas yang air belerangnya bersumber langsung dari gunung yang masih aktif, wisata tempat bersejarah, dan panorama alam yang masih asli.
Danau Marambe menjelang Maghrib |
Kami start perjalanan tanggal 24 pagi dari Rantauprapat sekitar jam 9 pagi, lalu jam 1 siangnya kami sudah berada di Panyabungan, langsung menikmati makan siang. Sore harinya kami diantar ke danau Marambe pakai mobil bang Nilwan yang keren, hehe. Jarakmya sekitar 20 menit dari pusat kota.
Narsis bersama |
Danau atau kalau saya sih lebih cocok menyebutnya telaga Marambe ini terletak di perbukitan. Dengan udara yang masih sejuk dan asri, tempat ini bisa menjadi pilihan untuk menghabiskan waktu bersantai.
Bagi sahabat yang hoby mancing, tempat ini recomendedlah. Soalnya disini ikannya gede-gede dan kita difasilitasi oleh cafe sekitar danau untuk memanggang langsung hasil tangkapan.
Kepengen mancing tapi gak sempat |
Santai-santai sebentar sambil menikmati minuman dingin, setelah itu kami bergerak ke arah lokasi Sumur Sampuraga. Menurut cerita rakyat setempat, sumur Sampuraga ini terbentuk seperti yang ada dalam kisah seorang anak yang durhaka kepada Ibunya. Yah, kalau menurut saya mirip-mirip Malin Kundang laah.
Sumur Sampuraga |
Sumur tersebut sebetulnya adalah mata air panas yang keluar dari perut bumi. Gelembung-gelembung yang menggelegak menandakan air tersebut sangat panas oleh sebab itu lokasi dipagari. Di sekitar lokasi tersebut memang terdapat banya titik sumber air panas yang mengandung belerang. Jadi kalau sobat baru pertama kali berkunjung nanti, jangan saling tuduh bilang temannya kentut, karena itu adalah aroma belerang.
Kolam air panas yang tidak jauh dari sumur |
Satu hal yang disayangkan dari tempat ini adalah mulai terbengkalainya prasarana menuju site maupun di lokasi. Seharusnya pemda setempat bisa lebih merawat tempat ini karena masih memiliki potensi historis maupun wisata.
Teman saya berkata orang-orang sering merebus telur di tempat ini, yah, paling hanya butuh waktu sekitar 2 menit. Menjelang malam kami pulang, karena lokasi tidak memiliki penerangan yang memadai dan lumayan jauh dari pemukiman.
Kopi Takar, dalam bahasa Mandailing yang artinya Kopi Tempurung |
Malam hari yang cukup dingin enaknya menikmati kuliner khas Mandailing yaitu Gulai Ikan Sale, yang merupakan ikan yang diasapi beberapa lama sampai bagian dalam masak dan bagian luar kering menghitam, sensasi aroma asapnya sangat nikmat denga bumbu gulai yang cenderung pedas.
Ngopi dulu ah.. |
Satu lagi yang khas dari Panyabungan adalah Kopi Takar. Kopi dari jenis Arabika ini diolah secara manual denga proses tradisional. Lumayan strong tapi strukturnya sangat smooth, ditambah dengan campuran rempah dan kayu manis.
Kopi takar ini sangat mantap rasanya, apalagi dinikmati di dinginnya malam sambil bersenda gurau dengan teman-teman.
Rumah Raja yang masih dihuni oleh keturunannya |
Pagi yang cerah setelah beristirahat dengan nyaman. Tak jauh dari pusat kota kami menuju kompleks rumah adat Mandailing, yang dulunya digunakan oleh Raja yang memerintah. Kompleks masih sangat terawat, pada beberapa waktu terdapat pertunjukan tradisional tahunan yang diadakan di tempat ini. Sayang, saat kami berkunjung belum waktunya.
Paya Bulan |
Sekitar jam 10 pagi, kami berpindah ke lokasi yang bernama Paya Bulan. Tempat ini adalah hamparan padang rumput yang luas yang terhampar di kaki gunung Sorik Marapi. Sering dijadikan tempat piknik keluarga, letaknya di tengah persawahan yang luas. Dari pusat kota kita hanya perlu menempuh setengah jam. Ini beberapa gambar yang kami ambil.
Bergaya angkuh |
Saya suka tempat ini, saya suka ketenangan dan angin sepoi-sepoinya. Kayaknya bisa juga nih dijadiin tempat main Golf, hehe.
Bagi sobat yang juga butuh ketenangan, saya recomended juga deh Paya Bulan ini. Rasanya di padang rumput yang luas begitu kita bisa teriak sekencang-kencangnya. :P
Ki-Ka: Saya, bang Nilwan, Sugi, bang Ihsan |
Saatnya mandi air panas, dan dari sekian banyak pemandian air panas yang ada di Panyabungan, kami cuma berkunjung ke Air Panas Sibanggor, tempatnya berada agak ke puncak gunung, semakin naik udaranya semakin dingin, makin cocok untuk mandi air panas.
Air panas Sibanggor |
Dengan latar belakang persawahan dan alam terbuka, menjadi sensasi tersendiri berendam dalam kolam dan aliran sungai buatan yang memiliki level-level panas tertentu. Menurut penduduk setempat, air panas yang mengandung belerang ini juga sangat efektif untuk penyakit-penyakit kulit. Saran saya, kalau sobat baru pertama kali mandi seperti ini, cobalah perlahan pada air yang tidak terlalu panas agar tidak terlalu kaget.
Bebatuan Belerang |
Dari dalam celah-celah bebatuan terdengar suara berisik dan air mendidih. Kalau terlalu dekat bisa bahaya juga sepertinya. Tapi sensasinya seperti berada di sauna juga.
Saya lupa nama tempat kami berandam yang seperti sungai di bawah ini. Yang saya ingat letaknya tidak begitu jauh dari pemandian Sibanggor, paling hanya sekitar 10 menitan.
Pemandian air panas khusus laki-laki, tidak terlalu panas |
Panasnya pas untuk berendam |
Selesai berendam, mandi-mandi, dan makan lagi, hehe, kami bergerak ke arah jalan lintas Natal. Terdapat sebuah tempat yang biasa disebut panatapan atau dalam bahasa Indonesia-nya tempat melihat-lihat.
Desa Sopotinjak |
Lokasi panatapan tersebut adalah desa Sopotinjak, desa yang terletak antara kecamatan Panyabungan dan kecamatan Natal. Kita bisa menikmati panorama pegunungan yang terhampar luas. Terdapat banyak restoran sepanjang panatapan yang bisa kita gunakan untuk bersantap ria sambil memandang-mandang.
View dari panatapan |
Sambil menikmati kuliner |
View dari panatapan |
Di udara pegunungan yang dingin seperti ini enaknya menikmati segelas teh manis hangat sambil makan jagung bakar yang banyak di juas di sepanjang pinggiran lokasi. Sobat tidak perlu kawatir soal harga di tempat ini, karena menurut saya semuanya serba murah, enak, dan yang pastinya sensasinya sangat nikmat sambil kita bersantai menghilangkan penat.
Hari semakin malam, saatnya kami kembali ke rumah, tidak rumah saya maksudnya, tapi rumahnya bang Nilwan. Kami harus beristirahat, karena kesokan paginya kami akan melanjutkan perjalanan yang sekaligus menjadi perjalanan pulang. Jadi ceritanya masih bersambung nih, sampai jumpa sahabat semuanya. Salam liburan, salam jepret..!