Kamis, 25 Oktober 2012

Hidup Adalah Matematika Terapan

Apa kabar sahabat semua, kali ini judulnya agak membingungkan ya, hehe. Postingan ini saya tulis cuma karena saya lagi kepengen nulis aja, soalnya besok libur Idul Adha, jadi saya bisa agak santai sedikit. Sebelumnya saya tidak bermaksud untuk mengajari para sahabat yang pastinya sudah master-master soal hidup, ini murni hanya cara pandang saya tentang hidup yang saya lihat dengan cara saya. Saya bukanlah seorang atheis yang tidak percaya akan kebesaranNya, tapi saya juga tidak menyukai saat diri saya berada dalam situasi ketidak tahuan dan memilih pasrah dan berdiam diri dengan beranggapan saya hanya manusia, maka saya tak perlu berfikir sejauh itu. Saya selalu berusaha mencari jawaban, dan saya yakin kita diberikan akal untuk membuat hidup kita lebih baik, bukan dengan pengetahuan yang dicekoki, tapi dari pencarian, pembelajaran, lalu pemahaman.

Saya melihat banyak hal ironis, yah seperti orang-orang yang bertindak tanpa mengerti mengapa mereka harus melakukan itu. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti apa yang terlihat benar di mata orang-orang, dengan harapan orang-orang memiliki gambaran positif yang sama terhadap dirinya. Yah, pada akhirnya memang hanya berakhir ikut-ikutan saja, kebanyakan tidak tahan dengan idealisme perkumpulannya dan akhirnya secara diam-diam menghianati janji dan perkataannya sewaktu bersama dengan orang-orangnya. Kembali ke gaya hidup imperialis, pop, dan menyenangkan. Semua itu adalah masalah pilihan, ya sekali lagi pilihan. Tak bisa dipungkiri, setiap hari kita adalah rentetan dari pilihan, bahkan yang sering adalah keadaan harus memilih. Pilihan adalah item yang ada dalam momentum pemilihan, sedikit berteori, jika pilihan adalah elemen dari satu himpunan dengan variabel P, maka dapat dituliskan:

P={(p1),(p2),(p3),...(p~)}

Himpunan yang saya tulisakan memiliki elemen tak terhingga, saya rasa kita dapat sepakat bahwa setiap hari kita sering mengalami hal-hal yang terjadi di luar dugaan kita. Setiap elemen yang menjadi bagian dari himpunan yang kita sebut sebagai pilihan tadi itu juga memiliki efek jika kita memilih salah satunya. Hal itu tentu saja berupa hasil dan resiko. Misalnya, si A adalah orang yang tidak pernah makan (M) dan tidak tahu akan berbuat apa di depan makanan, maka ada beberapa pilihan untuk si misalnya: dimakan:kenyang, dibiarkan:lapar, dll. Maka dapat kita sederhanakan A→(M)={(dimakan:kenyang), (dibiarkan:lapar), (dll,dll)}. Elemen-elemen itu dituliskan dengan format (action:effect), tentu dapat kita tambahkan properti lain misalnya (dimakan:kenyang:jadi ngantuk:dll). Untuk melakukan segala bentuk aksi setelah memilih satu pilihan, pastinya kita harus memiliki pemahaman terlebih dahulu tentang bagaimana cara melakukannya, pemahaman tersebut dilakukan dengan cara yang saya sebutkan diatas tadi, pencarian, pembelajaran lalu pemahamannya, dan satu lagi yang tak kalah penting, kita tak harus mencoba segala bentuk aksi karena dengan melihat (pengalaman) orang lain pun kita dapat belajar. Misalnya kita melihat si B lompat dari lantai 100 sebuah gedung, maka kita tidak harus buru-buru memastikan bahwa effect-nya adalah si B mati, tetapi harus lebih dulu kita kelompokkan ke dalam himpunan resiko tadi: Himpunan Kasar = {(mati),(hidup)}, Himpunan Semi-Kasar = {(mati),(mati anggota tubuh terpisah),(hidup),(hidup sekarat),(dll)}. Setelah melihat nasib si B, tinggal kita pertimbangkan deh, mau lompat atau tidak, hehe.

Lihat kan, semuanya hanya terletak pada bagaimana kita dapat mengklasifikasikan sebuah pilihan berdasarkan benar salahnya, baik buruknya, nilainya, prioritasnya, efektifitasnya, kemudahannya, dll. Setelah pengklasifikasian tersebut, kita juga sudah memiliki pengetahuan dasar tentang resiko (baik dari yang dipelajari dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain). Saya mau mengajak sahabat mengingat sedikit lagi, anak-anak kecil kalau ditanya soal cita-citanya pasti mereka akan menyebutkan jadi apa dia kelak, misalnya ada yang menjawab jadi Ultraman, dari hal sederhana itu kita pasti dapat menilai: oh, wajarlah dia mau jadi Ultraman, dia kan masih kecil, belum tau banyak. Kata-kata belum tau banyak itu adalah kuncinya, berarti anak itu sudah menambahkan Ultraman dalam daftar cita-citanya, jadi bayangkan apa yang terjadi pada bank cita-cita anak itu sejalan dengan umurnya, dia akan terus melihat hal-hal baru, belajar banyak hal baru, mempertimbangkan ini itu dan akhirnya mempunyai daftar pilihan baru.  Sahabat pasti setuju, semua dari kita menyadari khayalan kita semasa kecil ternyata sekarang itu adalah hal yang mustahil, yang dulunya mau jadi Superman, sekarang sedang sekolah untuk menjadi Pilot. Lalu pertanyaannya, apakah item di bank cita-cita tadi hilang?. Jawabannya belum tentu tidak, hal itu tidak menjadi cita-cita lagi karena sekarang kita telah mencari, belajar, dan memahami. Pada bank pilihan-pilihan tadi akan terdapat jarak antara pilihan yang satu dengan pilihan yang lain. Secara logis, sesuatu yang letaknya lebih jauh akan lebih sulit dijangkau daripada yang lebih dekat, begitu juga pilihan, pilihan dengan nilai atau prioritas yang lebih baik akan menjadi himpunan dengan rating yang lebih banyak:

P={(a1),(a2),(a3)...(a~)} rating ***
P={(b1),(b2),(b3)...(b~)} rating **
dst..

Untuk memudahkan klasifikasi tersebut kita dapat menggunakan matriks. Rating menunjukkan fokus kita terhadap rentetan pilihan dengan sebab akibatnya yang sudah kita fahami, untuk berpindah ke himpunan pilihan yang lain sebaiknya setelah kita mencoba semua pilihan dengan rating terbaik, tapi ya seperti yang saya bilang tadi, kita dapat berpindah pilihan kapan saja, belajar tanpa perlu melakukan, dengan melihat orang lain pun bisa, yang penting kita punya klasifikasi. Soal pilihan-pilihan yang terdapat dalam bank pilihan yang berhubungan dengan jarak seperti yang saya sebut diatas, secara umum kita dapat menuliskannya sebagai distance (d) dalam satu bidang horizontal dan vertikal, yah, anggaplah kita sedang memetakan pilihan-pilihan kita dalam satu bidang 2 dimensi. Dimisalkan ada beberapa pilihan yang kita simbolkan dengan variabel x dan y, tentunya hal itu mewakili banyaknya pilihan-pilihan kita. Jika masalah jarak dalam bank pilihan tadi kita jadikan acuan, maka nilainya dapat kita jadikan acuan untuk menjadikan yang mana prioritas. Karena hidup adalah sesuatu yang real, jadi kita perlu mengeliminasi nilai imajiner dengan mengakar kuadratkannya. Untuk itu secara umum kita dapat menggunakan persamaan:

d = jarak
x = opsi x
y = opsi y

Setelah mendapatkan nilai-nilai yang menjadi simbol prioritas, masuklah kita ke dalam proses pemilihan. Ini yang keratusan kali saya bilang, bahwa dasar pemilihan adalah nilai dari rentetan pilihan itu sendiri. Nilainya bisa bermacam-macam benar salahnya, baik buruknya, enak tidaknya, sekali lagi itu kembali ke kita, apa dasar kita dalam memilih. Nilai prioritas jarak dalam bank pilihan telah kita dapatkan, dalam proses pemilihan, kita dihadapkan dengan keadaan mempertimbangkan "yang mana sebaiknya". Dari seorang anak kecil yang ingin jadi Ultraman tapi akhirnya sekolah Pilot itu kita kembali belajar, semakin banyak kita melihat sesuatu, semakin banyak kita belajar, semakin banyak pula yang tinggal di otak kita. Semakin sering diulang, semakin lekat pula sesuatu itu di fikiran kita, hal-hal tersebut menjadi nilai properti sebuah variabel yang kita create (jarak lokal) tadi. Jadi apabila persamaan untuk mencari jarak dalam bank pilihan tersebut kita sederhanakan sebagai i = d(x1,y1) dan j = d(x2,y2), kita harus mencari jarak global terdekat diantara pilihan itu maka berlaku:

D(i,j) = min[D(i-1, j-1), D(i-1, j), D(i, j-1)] + d(i, j)

D = jarak global
d = jarak lokal

Hasilnya adalah minimum dari jarak global yang merupakan rentetan dari minimum jarak lokal. Hal itu pasti akan sangat membantu kita, pilihan mana yang terbaik. Mungkin ada pertanyaan, mengapa persamaannya sendiri tidak dipaksa ke dalam nilai positif? ya kan karena dari tahap inisialisasi awal, kita sudah mengeliminasi nilai imajiner. Memang yang agak sulit adalah saat mempertimbangkan nilai dari prioritas untuk tahap klasifikasi nilai seperti yang saya tulis di paragraf 4, tapi yah, saya yakin, semakin sering kita melatih akal kita untuk mempertimbangkan nilai dari satu pilihan, akan semakin mudah untuk kita mengklasifikasikan ratingnya. Jadi, tidak ada sih yang namanya salah pilih, yang ujung-ujungnya gak konsisten sama pilihan, segala macamlah. Akal yang ada pada kita berguna agar kita dapat memberikan besaran terhadap segala sesuatu, agar kita lebih pasti dalam mempertimbangkan berbagai macam hal.

Yah, ini hanya sedikit pemikiran saya, semoga berguna. Maaf kepanjangan, hehe..

25 komentar:

  1. .....


    selalu speechless kalo sama matematika hehe..

    anyway, that's life. and that's every lesson should do to life. selalu ada hubungan antara hampir semua mata pelajaran dengan nilai kehidupan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. justru kalo dalam matematika gak ada speechless mbak,
      kita harus saling uji materi,
      terima kasih..

      Hapus
  2. keren
    menarik
    dan aku suka postingannya

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
    Alhamdulillah kita masih diberi ALLAH SWT , nikmat umur buat menyambut Idul Adha tahun ini,
    semoga rahmat dan karunia ALLAH SWT selalu menyertai kita semua,
    selamat merayakan Hari Raya Idul Adha,
    bila ada salah dan khilaf dalam kata serta sikap selama ini, mohon di maafkan lahir dan batin.
    Wassalam

    BalasHapus
  4. Saya setuju sama abang soal hidup ini adalah Matematika Terapan Bang..
    menurut saya semuanya memang sudah diformulasikan Tuhan...
    Kita tinggal menemukan formula dan menjalankannya..
    walaupun banyak juga yg saya kurang ngerti :)
    Teringat juga satu kata-kata pendek dalam film (judulnya saya lupa), "Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan ada konsekuensinya"..
    Semuanya memang sudah sangat apik abg jelasin
    ada satu yg kurang saya fahami bg, menurut abg analogi bilangan imajiner dalam kehidupan itu seperti apa bg?

    sory komennya terlalu panjang Bang =D

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini salah satu pertanyaan yang saya tunggu-tunggu, dan jujur konsep implementasi imajiner saya juga masih bersifat prematur sebenarnya,
      tapi saya punya klausa sedikit,
      memang, semua hal yang belum terjadi dan akan dipilih pada masa yang akan datang dapat dikatakan sebagai hal yang tidak nyata (belum punya bentuk atau bukti), sedangkan bilangan imajiner dalam matematika murni sendiri sering digunakan untuk menggambarkan proses "nilai diantara" atau kalau di Elektro buat pengukuran arus bolak-balik,
      nah, sedangkan bilangan real sendiri saya melihatnya sebagai satu pelambangan dari sebuah nilai yang pasti, baik itu rasional maupun irasional, tapi tidak ada nilai mengambang (data float) yang tidak bisa dinyatakan dalam sistem real,
      dari itu saya bergerak, dimana saya yakin memang ada perbedaan sesuatu yang baik dan buruk, dan kita harus konsisten memilih salah satunya, bukan sesuatu diantaranya,
      saya tidak menyebutkan bilangan, tapi yang saya sebutkan adalah nilai, karena saya rasa kedua hal itu berbeda, memangsih yang mas tanyakan itu sangat bisa dianalogikan karena keduanya ekuivalen,

      btw, ini pertanyaan yang sangat saya suka,
      saya tunggu pencerahan dan materi tambahannya mas,
      siapa tau esai saya ini ada yang salah kaprah..

      thanks..

      Hapus
  5. Hidup ada formulanya..
    namun kadang orang tiak memikirkannya karena hidup membuatnya sibuk agar terus hidup...
    :)

    BalasHapus
  6. hidup adalah matematika terapan :P
    justru karena terapan, banyak formula yang tidak bisa diterapkan :P
    karena banyaknya formula yang belum ditemukan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah loh, justru itu,
      semua yang diterapkan bisa diformulasikan,
      tapi eke setuju sama dua kata "belum ditemukan"..

      Hapus
  7. rumus Allah dalam menciptakan takdir untuk setiap hamba-Nya adalah misteri yg tak sanggup dipecahkan manusia

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf, saya rasa berbeda pendapat adalah keindahan,
      salam persahabatan..

      Hapus
  8. hmmm bisa ya di buat rumus gitu. keren. gw udha lama banget ngak ketemu rumus rumusan. emang benar kok kata guru sma gw. mati matika itu bisa di terapkan dimana mana.

    keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, bisa dunk,
      kok mati sih, mematikan ya, haha..

      Hapus
  9. beuh mas Yudi, kenapa mesti dikaitin ama matematika??
    saya ngerti sih inti dari tulisan ini apa, dan baru ngerti penjelasan2 yg ada mtknya itu kalo dijelasin berulang2 >.< maklum smnjk d bangku kuliah, ilmu mtk memudar T.T

    emmm, saya setuju kalo udh milih sesuatu, hrsnya ga ada alsn lg knp jd gagal atau ga sreg mngkn trs mw ganti pilihan. Pasti org yg ngejalaninnya ga serius, makanya jd nyalahin si pilihan td, atw mngkn nyalahin diri sendiri ma org lain ujung2ny

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf saya kurang kongkrit menjelaskannya, mungkin kalau saya sertakan dengan contoh skala angka akan lebih mudah dimengerti..

      hmm, saya hanya menganggapnya instrumentasi matematika mbak, data statis tidak akan memiliki kesalahan kecuali inisialisasi memang salah dari awal, hanya saja pilihan dengan rating terbaik perlu energi yang setara untuk menjalankannya. jadi, kita harus sudah pantas untuk pilihan itu, maka kita memilih itu. misalnya, untuk satu pilihan yang mengacu pada kesempurnaan, diperlukan kekonsistenan. formulasi yang saya coba sajikan hanya membantu untuk menemukan "solusi pilihan" bukan untuk "membuat kita pantas" terhadap pilihan itu. kalau soal usaha kita, pasti sangat sulit memformulasikannya karena cara setiap orang berbeda-beda.

      terima kasih pencerahannya,

      salam..

      Hapus
    2. oow begitu, gag usah dijelasin pake angka2 ntar saya tambah mumet >.<

      tapi menarik ya penjelasan dari mas Yudi, apa mas Yudi suka matematika?

      Hapus
    3. suka banget donk mbak,
      itu adalah salah satu hal yang mau gak mau,
      suka gak suka,
      prinsip-prinsipnya kita gunakan sehari-hari,
      apa jadinya kita tanpa matematika, hehe,
      tapi yang jadi masalah, saya gak jago matematika, cuma sangat suka, hehe..

      Hapus
  10. nggg sampeyan ngomong apa sih? -.-a

    BalasHapus
  11. Baca judulnya saya ngomong dalem hati "mampus gue"

    Sampe dikata2: Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti apa yang terlihat benar di mata orang-orang, dengan harapan orang-orang memiliki gambaran positif yang sama terhadap dirinya.

    Mulai sedikit nyambung dan ngomong dalem hati, "Bukan sya nih kayanya, wong sya malah sering dibilang nggak mainstream kok sama orang2"

    Ngeliat rumus Himpunan "buru-buru nyari buku matematik SMP"

    Intinya sampe dimasalah pilihan, mau tuh pilihan bener atau nggak nantinya tetep mesti dipilih kan, cuma klo ngacu ke skala resiko, seenggaknya klo kita tau ada yg resikonya lebih gede, ya pikirin ulang dulu sebelum pasti ngasih pilihan ...

    Rumus lain aku udh nggak mudeng... -_-"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas DJ pasti bukan sama sekali yang saya maksudkan,
      Blogger Serabutan sekeren masnya ya cuma mas DJ ini, hehe..

      iya, bisa jadi banyak variabel sih mas, misalnya aja, pilihan terbaik ada juga dengan resiko tertinggi, kan biasanya juga gitu, kalo mau dapet yang luar biasa usahanya harus luar biasa juga, apalagi resikonya ya luar biasa juga..

      Hapus